Shalat Khusyu’ itu Mudah Part 1
Suatu
siang, Hj. Aliyah (almarhumah) datang ke rumah untuk mengajar mengaji bagi istri saya dan beberapa
temannya. Kebetulan hari itu saya sedang ijin kantor untuk masuk siang karena
ada suatu keperluan. Kebetulan pula, Beliau sudah beberapa kali ingin
bertemu saya untuk menanyakan masalah shalat khusyu' yang setiap bulan diajarkan ustadz
Abu Sangkan di Islamic Center Bekasi, ketika itu. Karena Beliau adalah seorang ustadzah
yang sudah banyak mengerti hakikat dan
aturan shalat, maka tidak banyak hal lagi yang saya sampaikan. Saya hanya
meneruskan apa yang saya ingat dari apa yang pernah disampaikan ustadz Abu Sangkan, terutama bagaimana kita bersikap
dan berdialog dengan Allah ketika kita shalat.
Tidak lama, hanya sekitar 15
menit, tapi terasa Beliau langsung "nyambung" dengan yang saya
sampaikan. Setelah itu, saya ajak Beliau shalat Dhuhur berjamaah. Dalam shalat
itu, sengaja saya panjangkan setiap gerakan shalat, terutama rukuk dan sujud. Tak lama setelah selesai
shalat dan berdzikir sejenak, dengan badan agak gemetar, Beliau berkata:
"Kok cepat betul shalatnya?".
Saya hanya tersenyum sambil melihat ke
jam dinding dan mengatakan: "Maaf saya tidak bisa lebih lama lagi karena
harus segera ke kantor, tapi tadi kita sholat selama hampir 20
menit". "Ah … yang
betul?", kata Beliau tak percaya. “Bagaimana rasanya Bu?”, tanya saya.
“Kalau nggak karena malu, saya sudah
nangis sekarang”, jawabnya.
Pada
waktu lainnya, ketika bertugas ke
Semarang, saya sempatkan mampir ke rumah mendiang nenek saya. Ketika
azan Magrib berkumandang, saya pun pergi ke mesjid As-Salam yang ada di
seberang rumah. Oleh imam mesjid tersebut, saya diminta untuk menjadi imam sholat.
Mungkin ingin menghormati kedatangan
saya di sana. Sebetulnya saya agak segan menerimanya. Selain bacaan Al
Qur’an saya kurang fasih, aksennya
terlalu “Indonesia”, juga karena saya
khawatir tempo sholat saya yang agak lama akan membuat jamaah menjadi tidak nyaman.
Apalagi ditambah dengan suasana desa yang sejuk dan tenang. Karena itu sebelum shalat
dimulai, saya memberikan sedikit pengantar yang kira-kira kalimatnya seperti
dibawah ini.
"Maaf, saya
kalau shalat agak lama. Bukan bacaannya yang panjang, hanya sekedar ingin mempraktekkan
thuma’maninah. Ketika rukuk, saya tidak buru-buru membaca, tapi saya tundukkan
dulu pikiran saya, hati saya dan jiwa saya. Setelah semua terasa tunduk, baru saya
memuji Allah - subhaana rabbial azimi wa bihamdihi. Demikian pula ketika sujud.
Saya sujudkan pikiran, hati dan jiwa saya.
Setelah semua terasa bersujud,
merendah kepada Allah, baru saya tinggikan Allah – subhaana rabial a'la
wa bihamdihi. Ketika duduk diantara dua sujud, saya sampaikan permohonan saya
kepada Allah dengan rendah hati
dan satu per
satu".
Lalu
saya pun memimpin shalat dengan tenang. Setelah selesai shalat dan berdzikir sejenak, saya melihat beberapa orang di shaf depan masih
tetap tertunduk dalam, tak mampu segera bangkit untuk mengubah posisi duduk
tahiyyad akhirnya. Kedua peristiwa tersebut semakin meyakinkan saya bahwa
khusyu’ adalah bukan sesuatu yang mustahil bagi kita manusia awam, bahkan suatu
yang mudah diperoleh.
Kegagalan Meraih Khusyu’
Selama
ini, kita selalu berpendapat bahwa khusyu’ itu sangat sulit dicapai. Ketika shalat, pikiran sering pergi
kemana-mana. Karena itu, lalu muncullah cara mengatasinya yaitu dengan konsentrasi. Konsentrasi pikiran
seolah-olah telah menjadi kunci
mencapai khusyu’. Maka tidak
mengherankan jika pelajaran shalat khusyu' pada umumnya tujukan untuk membantu mengarahkan
konsentrasi pikiran, seperti misalnya
melihat titik ditempat sujud, menerjemahkan bacaan, menghadirkan Allah, dan
lain-lain.
Cara-cara
tersebut terlihat meyakinkan, tetapi kenyataannya tidak memberi terlalu banyak manfaat. Melihat tempat sujud
membantu agar pandangan kita tidak melirik kekiri dan kanan, tetapi tidak mampu
menahan pikiran kita yang suka melompat ke kiri dan kanan. Jika khusyu’ dapat
diperoleh dengan mengerti arti bacaannya, ketika saya pergi ke Mekkah, ternyata orang-orang Arab
pun terlihat tidak lebih khusyu’ daripada kita. Ada yang matanya melirik ke kiri-kanan,
ada yang sibuk merapihkan tutup kepalanya, dan lain-lain. Padahal mereka tentu mengerti arti bacaannya. Mencoba
“menghadirkan” Allah, malah menambah kebingungan kita sendiri. Di dalam Al
Qur’an dinyatakan, bahwa Allah tidak bisa diserupakan apapun juga (QS Asy
Syuura [42] : 11). Jadi apapun yang kita bayangkan mengenai wujud Allah, maka
itu pasti salah. Anehnya, cara-cara tersebut, meskipun terbukti gagal sebagai
metoda mencapai khusyu', tetapi terus-menerus diajarkan oleh orang tua ke anaknya, oleh guru ke muridnya, demikian
dari generasi ke generasi. Agak konyol memang.
Ketika
usaha khusyu’ melalui konsentrasi gagal, maka muncullah persyaratan-persyaratan
lain. Ada yang mengatakan, bahwa untuk khusyu’ kita harus
suci, bersih dari perbuatan dosa. Persyaratan ini sempat
pula membuat saya pesimis, karena ternyata banyak ustad-ustad yang saya kenal
secara pribadi sebagai orang yang sholeh,
bisa berbahasa Arab, tinggi ilmu agamanya, ternyata mengalami masalah pula
dengan shalat khusyu’. Kalau mereka saja yang tinggi ilmu agamanya, banyak
berdzikir dan menjaga perbuatannya saja sering tidak khusyu’, bagaimana dengan saya?
Mendadak Khusyu'
Mungkin
telah banyak usaha dan cara untuk khusyu’ telah kita lakukan tetapi tetap saja
tidak berhasil. Anehnya, tiba-tiba kita bisa mendadak khusyu'. Ketika kita tertimpa musibah yang hebat, tiba-tiba
saja kita bisa shalat dengan khusyu' lalu berdoa sambil mengucurkan air mata.
Padahal
ketika itu, kita justru lupa dengan segala macam teori mengenai shalat khusyu'.
Kita shalat tanpa berkonsentrasi, kita juga lupa memperhatikan titik ditempat
sujud, tapi hati dan pikiran kita tidak pernah lepas mengarah ke Allah. Kita
tetap belum sepenuhnya memahami arti bacaan dalam bahasa Arab, tapi kita merasa
bisa berdialog dengan Allah. Kita lupa untuk “menghadirkan” Allah, tapi malah
terasa Allah begitu dekat. Ketika itu, dosa kita tidak lebih sedikit dari
sebelumnya, malah mungkin kita
baru saja melakukan perbuatan
dosa besar sehingga kita sangat
menyesal, tapi terasa Allah menyambut shalat
dan doa kita. Saat ketika kita tidak menggunakan ilmu khusyu’, saat itu
justru kita bisa shalat dengan khusyu'. Keadaan ini bisa terjadi kepada siapa saja, dari mahzab dan aliran apa
saja, kepada ulama, orang yang awam ilmu
agamanya, cendikiawan, orang yang kurang berpendidikan, orang kaya, orang miskin,
bahkan kadang kepada orang yang jarang shalat sekali pun.
Apa gerangan yang
membuat itu bisa terjadi?
Salah
satunya adalah sikap dalam menghadap kepada Allah. Ketika kita
tertimpa musibah, maka kita datang kepada Allah dengan merendahkan diri,
sungguh-sungguh mengharapkan pertolongan Allah. Kita menjadi tersadar, hanya Allah-lah yang dapat mengatasi
masalah kita dan mengabulkan doa kita.
Sebaliknya ketika kita sedang jaya, tidak kekurangan suatu apapun, sikap
itu sudah tidak ada lagi. Biasanya kita shalat dan doa hanya sekedar untuk
menggugurkan kewajiban saja. Seolah-olah Allah-lah yang membutuhkan shalat dan
doa kita.
Musibah
diturunkan tidak lain agar kita selalu datang dengan merendahkan diri kepada
Allah. Sikap yang akan membuat kita khusyu'. Sayang kita selalu lalai terhadap
pelajaran yang Allah berikan kepada kita itu, meskipun Allah telah memberikannya
berkali-kali.
Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon
(pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan
memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah
dia akan kemudharatan yang pernah dia
berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu." (QS Az Zumar
[39] : 8).
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada
umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan)
kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan
tunduk merendahkan diri. (QS Al An'aam [6] : 42).
Dan tidaklah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau
dua kali setiap
tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula)
mengambil pelajaran? (QS
At Taubah [9] : 126).
Peka dan Tanggap
Lingkungan
Banyak
orang mendefinisikan khusyu’ dengan menggunakan acuan peristiwa Syaidinna Ali ketika kakinya terkena anak panah. Ketika anak panah tersebut akan dicabut Beliau mengerang,
tak kuat menahan sakit sehingga para sahabat tak tega mencabutnya. Lalu Beliau shalat
dengan khusyu’. Dan ketika shalat itu, anak
panah dapat dicabut tanpa
Syaidinna Ali merasakan kesakitan.
Peristiwa
tersebut sangat popular dan memberikan kesan yang kuat bahwa salah satu tanda shalat
yang khusyu’ adalah seseorang tidak lagi merasakan sakitnya luka. Seolah-olah
ketika shalat dengan khusyu’, kita bisa lepas dari alam dunia. Tidak merasakan
apa-apa dan tidak memikirkan apa-apa lagi. Kesan ini diperkuat lagi oleh cerita
tentang satria yang sedang bersemedi didalam kisah perwayangan. Diganggu jin
dan gendruwo tidak gentar, dikelilingi binatang buas diam saja, dirayu bidadari
cantik tidak tergoda. Tahan tidak makan dan minum berhari-hari lamanya. Apakah
shalat khusyu’ harus seperti itu? Siapa orang yang paling khusyu' shalatnya di dunia ini? Pasti kita sepakat,
bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling khusyu' shalatnya. Marilah
kita melihat bagaimana Rasulullah melakukan shalatnya.
- Ketika Nabi sedang memimpin shalat, tiba-tiba terdengar tangis anak kecil. Beliau pun mempercepat shalatnya, takut terjadi sesuatu dengan anak itu.
- Ketika sedang shalat, Nabi melihat ada binatang berbisa mendekat. Beliau pun menghentikan shalat untuk membunuh binatang tersebut, lalu meneruskan kembali shalatnya.
- Pada suatu saat, setelah selesai shalat berjamaah, Nabi tidak berdzikir sebagaimana biasanya, tetapi segera bergegas pulang. Ketika telah kembali ke masjid, Beliau ditanya oleh sahabatnya mengenai ketergesaan itu. Beliau mengatakan, bahwa ketika shalat Beliau ingat ada sedekah yang belum dibagikan. Karena itu, Beliau segera pulang agar dapat membagi sedekah tersebut secepatnya.
- Ketika sedang berperang, Nabi mengajarkan shalat khauf. Shalat berjamaah yang dilakukan dengan cara yang unik karena harus tetap dalam kondisi siaga terhadap serangan musuh.
Dari
beberapa riwayat tersebut, ternyata ketika shalat, Nabi selalu peka dan tanggap
kepada lingkungannya. Beliau tetap mendengar dan melihat apa yang terjadi di sekelilingnya.
Lintasan-lintasan pikiran pun tetap ada ketika Beliau shalat. Bahkan jika ada masalah,
Beliau mengajarkan kepada kita untuk shalat sunnat 2 rakaat. Artinya, ketika
shalat, Beliau bukan melupakan suatu masalah, tetapi malah sengaja membawa
masalah tersebut dalam shalatnya untuk disampaikan kepada Allah agar diberikan jalan keluarnya. Apa yang Beliau
ajarkan sesuai dengan apa yang diperintahkan di dalam Al Qur'an :
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al
Baqarah [2] : 153)
Khusyu’ Menurut Al
Qur'an
Kita
sering mengasosiakan khusyu' dengan
kontemplasi, semedi atau meditasi yang biasa dilakukan dalam praktek ritual
agama lain. Kita menjadi lupa untuk
menggali bagaimana Al Qur'an menjelaskan
mengenai khusyu' itu.
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya
yang demikian
itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang
meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka
akan kembali kepada-Nya. (QS Al Baqarah [2] 45-46).
Dari
kedua ayat tersebut, dapat disimpulkan khusyu' bukanlah konsentrasi, tetapi keyakinan sedang menghadap Allah.
Keyakinan
sangat mempengaruhi sikap seseorang. Orang yang
yakin di pohon kamboja ada hantunya, maka dia akan ketakutan jika
malam-malam lewat di bawahnya. Sebaliknya, jika orang tersebut berkeyakinan
pohon kamboja adalah pohon yang indah, maka orang tersebut justru menemukan
kesenangan di bawahnya. Dia akan memungut bunga-bunga yang berguguran untuk
diselipkan ditelinga, dibuat rangkaian
bunga atau diletakkan mengapung diatas kolam air.
Sebetulnya,
kata yang sering diterjemahkan sebagai “yakin” pada ayat di atas bukanlah
berasal kata “yaqin” tetapi dari berasal kata “zon” - yazunnuuna. Zon sebetulnya lebih sering diterjemahkan
sebagai “sangkaan” sebagaimana halnya
kata “husnuzon” dan su’uzon”. Ada pula
mengartikan sebagai “menduga dengan kuat”. Yang pasti, tingkat keyakinan atau kepastian
akan terjadinya sesuatu yang menggunakan kata “zon” berada dibawah kata
“yaqin”. Jika kata “yaqin” bisa
dikatakan 90%-100% sesuatu itu akan terjadi, maka kata “zon” tingkat kepastiannya mungkin hanya
sekitar 70%-90% .
Dalam
tata bahasa Arab, berdasarkan waktu berlangsungnya suatu kegiatan, kata kerja
terdiri dari 2 bentuk, yaitu fi'il maadhi dan
fi'il mudhaari'. Fiil maadhi merupakan kata kerja bentuk lampau (past)
sedang fiil mudhaari’ adalah kata kerja untuk kegiatan yang sedang berlangsung saat
ini (present continuous), masa depan (future) dan juga untuk kegiatan yang
berulang-ulang. Kata kerja yang ada pada
surat Al Baqarah ayat 46, yaitu "yazunnuu"
menggunakan fi'il mudhaari'.
Kata
“menemui” (mulaaquu) dan “kembali” (raaji’uun)
adalah kata pelaku dari kegiatan tersebut (isim fa’il), sama dengan kata
“orang-orang yang khusyu’ “ (khaasyi’un). Kata ini tidak menunjukkan kapan
waktu kegiatan tersebut dilakukan. Bisa lampau, sekarang ataupun yang akan
datang. Kebanyakan terjemahan Al Qur'an dalam bahasa Indonesia, memilih menterjemahkannya
“khaasyi’un” (orang yang khusyu’) tanpa menggunakan kata “akan”, sedang kata
“muulaquu” (orang yang menemui) dan “raaji’uun” (orang yang kembali) dengan tambahan
kata "akan" (masa yang akan datang). Salah satu pertimbangannya
"menemui Tuhan" dan "kembali kepada-Nya" hanya mungkin
terjadi "nanti" di akherat. Jika demikian, lalu ketika shalat kepada
siapa dia menghadap?.
Dalam
beberapa hadits, tampak bahwa Nabi menjaga sikapnya ketika sedang shalat. Beliau berpendapat ketika shalat
sesungguhnya orang sedang berhadapan
dengan Allah, seperti halnya ketika Beliau mi’raj. Karena itu, Beliau melarang
orang yang sedang shalat meludah ke depan, memberi tanda batas tempat shalatnya
(sutrah) dan mencegah orang melewatinya.
Allah Ta'ala tetap
(senantiasa) berhadapan dengan hambaNya
yang sedang shalat dan jika ia mengucap salam (menoleh) maka Allah
meninggalkannya. (HR. Mashobih Assunnah)
Nabi
juga telah mengajarkan caranya agar kita dapat “menemui” dan “kembali” kepada
Allah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Al Baqarah 46. Petunjuknya dikemas
ringkas dalam doa iftitah yang dibaca di awal shalat, setelah takbiratul ihram.
Jadi ketika kita baru memulai shalat, kita selalu diingatkan Beliau tentang apa
yang harus dilakukan di dalam shata agar kita menjadi orang yang khusyu’.
Aku hadapkan wajahku kepada wajah Tuhan yang menciptakan langit
dan bumi, dengan lurus dan berserah diri. Sesungguhnya ibadahku, shalatku, hidup dan matiku hanyalah untuk
Allah Tuhan semesta alam ..
Kita
hanya perlu memiliki sangkaan/keyakinan sehingga bisa bersikap untuk menghadapkan diri kita kepada Allah
dengansadar dan rela mengembalikan seluruh jiwa raga kita kepada Allah. Karena
itu, menurut saya, lebih tepat jika arti khusyu’ dalam Al Baqarah ayat 46
diatas diterjemahkan sebagai :
Orang-orang yang (bersikap) seolah-olah, mereka sedang menemui
Tuhannya, dan seolah-olah mereka sedang kembali (berserah diri) kepada-Nya.
Kata
khusyu' sendiri disebutkan di dalam Al Qur'an pada 16 ayat 2. Makna
bahasanya berkisar pada hina/menunduk, rendah/ tenang, ketakutan, kering/mati,
seperti:
1. Hina dan
menunduk
"Banyak muka
pada hari itu tunduk terhina". (QS. Al Ghaasyiyaah [88]:2).
"Pandangannya
tunduk". QS. (An-Naazi'aat [79]: 9).
"Sambil
menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka
belalang yang beterbangan" QS. (Al Qamar [54]: 7).
2. Rendah dan tenang
". Dan merendahlah
semua suara kepada Rabb Yang Maha
Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja". (QS. (Thaahaa
[20]: 108).
3. Merendahkan dan
menundukkan diri
"Kalau
sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan
ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan
itu Kami buat untuk manusia supaya
mereka berfikir". (QS. Al Hasyr
[59] : 21).
"(dalam
keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan
sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru
untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera". (QS. Al Qalam
[68] : 43).
4. Kering dan mati
"Dan diantara
tanda-tanda kekuasaaan-Nya (ialah) bahwa engkau lihat bumi kering dan gersang,
maka apabila Kami turunkan air diatasnya, niscaya ia bergerak dan subur". (QS. Fushshilat
[41]: 39).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, maka untuk mendapatkan rasa khusyu’ kita hanya perlu
bersikap seolah-olah ketika shalat kita sedang berhadapan dengan Allah dan
berserah diri kepada Nya. Sikap yang patut kita lakukan ketika menghadap Allah
adalah tenang, menundukkan pandangan dan merendahkan diri serendah-rendahnya.
Sikap yang sepatutnya dilakukan oleh seorang hamba yang hina dihadapan Tuhan
semesta alam, Tuhan Yang Maha Agung. Seperti
sikap bumi yang kering kerontang dimusim kemarau mengharapkan pertolongan dari Allah swt dalam bentuk curahan hujan agar dapat kembali
subur makmur.
Siapkan diri untuk
khusyu'
Melalui
tulisan ini, saya ingin mengajak Anda untuk memahami teori dasar mengenai
shalat khusyu’ dan melatih sikap-sikap yang diperlukan ketika kita shalat.
Latihan-latihan yang ada di dalam buku ini sangat penting untuk dilakukan.
Rangkaian kata dan kalimat pada tulisan tidak akan mampu menjelaskan dengan
baik apa yang saya rasakan. Dengan
melakukan latihan, diharapkan Anda dapat merasakan suasana-suasana khusyu’ yang
diperoleh dari sikap-sikap tersebut sehingga akan lebih memahami apa
yang saya utarakan. Seperti halnya jika
kita ingin menjelaskan rasanya durian kepada orang Rusia yang belum pernah
makan buah durian sama sekali. Peluang terjadinya perbedaan persepsi sangat
besar karena keterbatasan perbendaharaan kata, perbedaan idiom dan perbedaan pengetahuan. Rasa buah durian menjadi
mudah dipahami dan tidak ada perbedaan persepsi, jika kita meminta dia untuk
ikut memakannya. Karena itu, latihan
harus dilakukan pada tiap-tiap tahapan sebelum Anda melanjutkan bacaannya.
Jangan dilewatkan begitu saja. Latihan-latihan tersebut dilakukan di luar shalat. Setelah kita paham bagaimana
melakukannya, maka kita tinggal membawanya dalam shalat. Tidak ada dalil
ataupun teori baru yang melandasi latihan-latihan tersebut. Saya yakin Anda pernah mendengarnya, hanya mungkin jarang
dipraktekkan dalam kegiatan shalat.
Tulisan
ini akan lebih berdaya guna jika Anda dapat menyelesaikan seluruh bacaan dan latihannya
dalam satu kesempatan sekaligus. Karena itu, lakukanlah persiapan sebelum membaca
halaman-halaman berikut ini. Luangkan waktu sekitar 2 jam, kenakan pakaian yang
bersih dan carilah tempat yang tenang sehingga Anda dapat melakukannya dengan
baik. Sebaiknya Anda berwudhu dulu, sehingga setelah selesai membaca, Anda
dapat langsung mencobanya dengan melakukan shalat sunnah.
Mudah-mudahan
Allah berkenan menurunkan rasa khusyu' itu kepada kita semua.
1 Bahan Pengajian Ar-Rahman pimpinan ustad Bahtiar Nasir
kelas Basic 2.
2 Syaikh Mu'min Al Haddad, Khusyuk Bukan Mimpi. Terjemahan
Ahmad Syakirin, MA. Penerbit Aqwan, Cetakan III tahun 2008
Sumber : Dikutip
dari buku “Shalat Khusyu’ itu Mudah” oleh Abu Sangkan, penerbit mardibros.
Komentar
Posting Komentar